Sragen Kembangkan Beras Organik

Minggu, 19 Desember 2010








Karti, seorang ibu rumah tangga di Sragen, mengeluh. Pasalnya, belum 24 jam setelah ditanak, nasinya sudah berubah kekuningan. Kondisinya juga berair seperti basi. Padahal ia sudah menyimpannya dalam wadah pemanas (magic jar) yang konon bisa lebih mengawetkan nasi. Baru setelah mencoba sampel beras organik, Karti tersenyum lega. Sebab, nasinya bisa bertahan segar 24 jam tanpa magic jar. Malah baunya lebih wangi. "Jika dalam magic jar, nasi beras organik bisa tahan sampai tiga hari," tutur Yamto, pemilik perusahaan beras organik Padi Mulya, Sragen, pekan lalu.
Salah satu kelebihan beras organik--yang dibudidayakan tanpa pupuk dan pestisida kimia--ini memang lebih tahan lama. "Karena tak punya residu atau sisa bahan kimia, beras organik tak mudah basi. Rasanya lebih gurih dan pulen (kenyal)," ucap Marno, mantan Direktur Perusahaan Daerah Pelopor Alam Lestari (PD PAL) Sragen, yang memproduksi beras organik merek Pelopor.
Lantaran terbukti bebas residu kimia--berdasar uji laboratorium Sucofindo--kata Yamto, beras organik banyak dikonsumsi penderita autis yang rentan terhadap zat kimia. Karena itu, ia menambahkan, sejumlah yayasan autis dari Jakarta dan Surabaya menjadi pelanggan beras organiknya.
Menurut Yamto, uji laboratorium menunjukkan, dihindarinya pupuk kimia telah mengurangi kadar gula beras menjadi hanya 0,2-0,4 persen. "Inilah yang membuat banyak penderita diabetes menjadi konsumen beras organik. Saya tahu ini justru dari pelanggan saya yang diabetes," katanya.
Sebaliknya, beras nonorganik, yang diproduksi berdasar pola intensifikasi pertanian--atau juga dikenal sebagai revolusi hijau--yang melibatkan pupuk dan pestisida kimia, dampaknya seperti dirasakan Ibu Karti tadi: nasi lembek dan lekas basi. Malah, menurut Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Sragen, Endang Handayani, nasi dari beras jenis ini berpotensi tercemar residu pestisida kimia yang berbahaya bagi manusia.
Di sisi lain, kata Endang, penggunaan pupuk sintetis yang berlangsung lama juga menyusutkan kegemburan dan kesuburan tanah. Akibatnya, ibarat pecandu narkoba, tanah pun butuh lebih banyak pupuk untuk mempertahankan tingkat produktivitasnya. Karena pupuk makin mahal, sedangkan harga gabah tetap rendah, kesejahteraan petani pun terus merosot.
Menyadari situasi itu, Bupati Sragen Untung Wiyono mencanangkan gerakan bertani padi organik pada 2001. Inilah pola budi daya padi yang hanya memakai pupuk dan pestisida dari bahan organik atau alamiah, sehingga diyakini juga ramah lingkungan dan aman bagi manusia. Cara bertani ini biasanya juga disebut sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture).
Maka beda dari daerah lain yang biasanya cuma melibatkan aktivis lembaga swadaya masyarakat, budi daya padi organik di Sragen didukung penuh pemerintah kabupaten. Menurut Marno, kini Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Kabupaten Sragen, selain menerjunkan penyuluh pertanian lapangan (PPL) di 20 kecamatan, pihaknya juga meminjamkan dana Rp 1 miliar dari APBD untuk menambah modal PD PAL. PD PAL inilah yang bertugas menyangga harga gabah dan memasarkan padi organik para petani.
Kepada Tempo, Bupati Sragen mengaku punya tiga alasan memilih padi organik sebagai kebijakan unggulan. Pertama, untuk melestarikan lingkungan hidup, karena padi organik hanya memakai pupuk dan pestisida organik.
Kedua, alasan kesehatan: beras organik lebih sehat karena tak memakai pestisida kimia. Terakhir, alasan pasar. Segmen beras organik jelas, yaitu kalangan menengah ke atas. Harga jualnya pun di atas beras nonorganik.
Beras organik menthik wangi, misalnya, di PD PAL dijual Rp 4.000 per kg dan di Padi Mulya Rp 5.000. Harga ini sudah terhitung murah. Sebab, harga beras organik impor dari Thailand Rp 19 ribu dan dari Jepang lebih gila lagi: Rp 70 ribu per kg. Harga gabah kering panen organik juga lebih tinggi Rp 100-200 per kg dibanding nonorganik.
Di sisi lain, menurut Kepala Bidang Agrobisnis Dinas Pertanian Sragen, Erwin Sutimin, biaya produksi padi organik lebih irit. Sebab, petani bisa memanfaatkan kotoran hewan, jerami padi, dan bahan alami lain, untuk bahan pupuk organik. Pestisida organik pun cukup dibuat dari daun mimba (Azadirachta indica) yang direndam air 24 jam. Air rendaman ini untuk menyemprot hama.
Dari situ, Untung lalu menghitung keuntungan bertani organik. "Dengan biaya Rp 2,2-2,4 juta per hektare, bisa dihasilkan Rp 10 juta per hektare dalam empat bulan (sekali masa panen)," ucapnya. Perhitungan tadi memakai asumsi tiap hektare sawah menghasilkan padi gabah kering panen 7 ton dengan harga Rp 1.450 per kg (jenis menthik).
Lewat berbagai upaya, lahan padi organik di Sragen pun terus bertambah dari 232 hektare pada 2001 menjadi 1.973 hektare pada 2004. Jumlah kelompok tani dan petani organik juga melejit: dari 29 kelompok dengan 639 petani saat program dimulai (2001), menjadi 247 kelompok dengan 1.721 petani pada 2004.
Alhasil, jumlah produksi padi organik pun ikut melonjak tajam. Jika pada 2001 dihasilkan 1.187 ton gabah kering giling, tiga tahun kemudian sudah hampir 11 ribu ton gabah kering giling.
Dengan arah positif ini, tak aneh jika Bupati Untung Wiyono berani mematok target bahwa pada 2010 Sragen sudah harus menjadi sentra beras organik terbesar di Tanah Air.

0 komentar: