Hikmah Mahalnya Buah Impor

Kamis, 11 Juli 2013

Peraturan pemerintah yang makin memperketat impor buah telah menampakkan hasilnya. Diterapkan sejak Januari 2013, dampaknya di ritel makin terasa. Buah impor makin sulit ditemui, dan seperti prinsip ekonomi lainnya, begitu pasokan berkurang, harga makin meningkat.

Sebagai konsumen buah impor, awalnya saya bertanya-tanya mengapa makin sulit menemukan buah-buahan tersebut. Setiap hari, kami mengonsumsi buah dalam bentuk jus untuk anak-anak, dan potongan untuk dibawa ke kantor. Buah juga harus selalu ada sebagai cemilan sehat saat mulut sedang iseng ingin mengunyah.

Masalah pertama, buahnya sudah tidak ada. Buah impor menjadi pilihan karena harganya yang terjangkau, lebih manis dari buah lokal, tingkat kemanisan yang standar, selalu ada, dan lebih besar. Memang kalau dihitung per kilogram lebih mahal dari buah lokal, namun lebih praktis karena tak perlu mengupas lebih banyak buah.

Masalah kedua, jika ada, harganya mahal. Harga yang saya temui di tingkat ritel telah meningkat seratus persen. Cukup membuat saya terpekur lama di depan lemari pendingin, mempertimbangkan jadi beli ngga ya.

Bagaimanapun, toh kami harus tetap mengonsumsi buah. Sehingga mau tidak mau akhirnya ada beberapa buah yang harus disubtitusi. Apel diganti pir yang masih murah, atau apel malang. Jeruk ponkan diganti jeruk pacitan. Anggur, lupakan, karena anggur lokal sulit juga ditemukan. Buah yang tadinya tidak masuk hitungan, sekarang jadi pilihan. Melon, semangka dan jambu biji akhirnya menjadi alternatif selingan.

Jika sektor pertanian sudah merata teknologi dan pengetahuannya, seharusnya kondisi ini sudah dengan cepat bisa mengalihkan pelanggan setia buah impor untuk memilih buah lokal dengan senang hati, bukan karena terpaksa. Kalau sekarang kan konsumen buah impor anggaplah sedang dalam masa menanti harga normal kembali,  meski kali ini nampaknya mustahil karena pengetatan keran impor buah tersebut.

Kenapa buah lokal kurang diminati? Jeruk lokal yang saya beli, sepertinya tidak ada perubahan dari masalah-masalah sebelumnya. Warna kurang menarik, ukuran masih imut-imut, kualitas tidak standar, demikian juga dengan rasa manis bisa berbeda-beda. Apel yang paling banyak di pasaran adalah apel malang, yang rasanya masih agak masam, sehingga jus untuk anak-anak harus ditambah gula. Belum lagi masalah pasokan, yang kadang ada kadang tidak. Padahal mestinya bisa diusahakan panen bisa berlangsung sepanjang musim, demikian juga dengan distribusinya agar merata.

Kita memang bisa mengharuskan konsumen untuk mencintai produk dalam negeri. Namun jika produk kita lebih jelek, maka hal tersebut harus diakui secara jujur, untuk kemudian mencari cara untuk memperbaikinya, melakukannya, dan terus berinovasi dengan hasil yang didapatkan. Produk lokal, paling tidak harus menjadi raja di negeri sendiri. Setelah itu barulah bisa percaya diri bersaing dengan produk sejenis dari negara lain.

http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2013/04/29/hikmah-mahalnya-buah-impor-555728.html

1 komentar:

azam at: 3 September 2013 pukul 15.52 mengatakan...

terimakasih artikelnya, saya kagum pada tulisan anda.