Cita-citanya menjadi pelaut. Namun, ketertarikan menggeluti ilmu perkebunan telah membelokkan jalan hidup Sahril Sidik. Dari semula memimpikan berlayar di tengah samudera, Sahril kini menjadi pembudi daya dan pedagang mangga beromzet miliaran rupiah. Kesuksesan itu tentu tak datang begitu saja.
Merantau dari kampung halamannya di Takengon,Nanggroe Aceh Darussalam, Sahril datang ke Cirebon, Jawa Barat,untukmeraih cita-citanya sebagai pelaut.Dia masuk Akademi Maritim Cirebon, Kota Cirebon pada 1998. Tanpa seorang pun sanak saudara,dia memutuskan aktif berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Dari sini pula dia terlibat jaringan pertemanan yang membuatnya tak lagi merasa sendiri. Jaringan itu selanjutnya berkembang dari sekadar internal kampus menjadi eksternal, bahkan nasional saat dirinya ditunjuk sebagai Ketua Presidium Forum Komunikasi Taruna Maritim se-Indonesia. Jalan hidupnya mulai berubah sekitar tahun 2000. Perkenalannya dengan Cucu Sumiyati membawa Sahril mengenal mangga dan dunia perkebunan.
"Istri saya orang Majalengka. Ketika beberapa kali datang ke rumahnya, saya disuguhi mangga gedong gincu,” kata Sahril. ”Saya juga mengetahui keluarga besarnya rata-rata bertani mangga gedong gincu. Namun, saat itu masih diperdagangkan secara tradisional, begitu panen langsung jual,” sambung dia. Perkenalan itu membuat Sahril jatuh cinta pada mangga gedong gincu.
Begitu melihat potensi luar biasa dari buah ini, dia memutuskan mempelajarinya. Sahril tanpa ragu mendatangi petani untuk belajar dan mengetahui seluk-beluk mangga gedong gincu dan perdagangannya. Ketika akhirnya menikah dengan Cucu, saat itu pula dia memutuskan melepas cita-citanya sebagai pelaut.
“Rasanya berat meninggalkan orang yang kita cintai untuk pergi berlayar. Akhirnya saya benar-benar memfokuskan diri pada dunia perkebunan mangga,”kata Sahril.
Meski tidak memiliki latar belakang sebagai petani mangga, Sahril yakin bisa sukses.Dia optimistis dapat memasarkan dengan mempertimbangkan jaringan pertemanan yang terbentuk selama di kampus.Agar berhasil, Sahril tak ragu untuk belajar bertanam mangga gedong gincu. ”Saya belajar autodidak, tanya petani,baca buku, tanya petani lagi, baca buku lagi, begitu terus,” ucapnya seraya terkekeh.
Memulai usahanya, Sahril mencari lahan perkebunan untuk pohon-pohon mangga yang akan ditanamnya. Namun, hal itu ternyata tidak mudah. Beruntung, pertemanan membuat pria kelahiran 1978 ini menemukan jalan. Seorang kawannya merekomendasikan lahan perkebunan di Desa Sindang Jawa, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon.
Tanpa banyak berpikir Sahril menyewa lahan yang masih berupa hutan belantara tersebut. “Dulu saya bantu-bantu pekerjaan istri di perusahaan asuransi, jadi punya penghasilan sedikit untuk menyewa lahan dua hektare di Sindang Jawa itu.Pemiliknya mengajukan harga sewa Rp2,5 juta per tahun.Ditambah upah kawan yang memberi rekomendasi Rp1 juta, jadi modal awal Rp3,5 juta,”tuturnya.
Persoalan mulai muncul saat dia menyadari tak memiliki tenaga penggarap lahan perkebunan miliknya. Selain tak memiliki modal lagi, dia juga menghadapi krisis kepercayaan dari sejumlah orang yang hendak direkrutnya menjadi tenaga penggarap lahan.Penampilan luar Sahril kala itu dianggap tak meyakinkan, sampai-sampai calon tenaga penggarap tak yakin dia mampu membayar.
Kondisi itu sempat diperparah dengan sikap keluarganya di Aceh maupun keluarga dari pihak istri yang memandang pesimistismengingatlatarbelakang pendidikannya dianggap tak cocok untuk usaha berkebun mangga.Selama sekitar satu bulan,kebun tersebut menganggur. Sampai suatu hari, datang seorang teman lama yang menawarkan Sahril menjual lem serbaguna secara door to door.
Keuntungan yang lumayan besar membuatnya menerima pekerjaan tersebut. Kendati demikian, Sahril tetap memfokuskan pikirannya pada pengembangan kebun mangga yang belum tergarap. Karena itulah, pekerjaan menjual lem dipandangnya sebagai pekerjaan sementara. Tantangan kembali dihadapi saat dirinya tak memiliki kendaraan untuk menunjang pekerjaannya sebagai sales.Untuk menyiasati, Sahril menggunakan sepeda motor pinjaman.
Ketika sudah memperoleh keuntungan menjual lem ditambah hasil beberapa pinjaman,dia mampu mengumpulkan Rp2,5 juta yang kemudian dimanfaatkan untuk mengkredit sepeda motor. Memiliki sepeda motor menjadi modal awal kepercayaan dari tenaga-tenaga penggarap lahan yang direkrutnya kemudian hari.Sambil memfokuskan diri pada perkembangan perkebunan mangga,Sahril terus berkeliling menjajakan lem ke sejumlah kota seperti Majalengka,Tasikmalaya, Ciamis, maupun Sumedang.
Selama 1,5 tahun dia menekuni pekerjaan tersebut. Selain untuk menambah modal, pekerjaan itu juga meluaskan jaringan pertemanannya. Sementara itu, sesuai hasil analisisnya, panen mangga pertama kali menghasilkan keuntungan besar. Dari modal awal sekitar Rp10 juta, panen menghasilkan omzet Rp25 juta. Semakin optimistis, Sahril memutuskan mengembangkan lahan perkebunannya dengan menyewa dua hektare lagi di tahun kedua. Secara perlahan,perkebunan ini mulai tergarap lebih baik.
“Berapa pun punya uang, saya investasikan untuk perkebunan mangga ini.Saat itu juga saya melepaskan pekerjaan sebagai sales dan benar-benar mencurahkan diri di sini karena pasar mangga gedong gincu sangat bagus,”tutur dia. Pada tahun kedua, omzet penjualan mangga meningkat menjadi ratusan juta rupiah. Sekitar 2004, dia mengaku kepercayaan dirinya menguat sehingga berani mengirim sejumlah sampel mangga gedong gincu ke Singapura.
Meski mendapat respons positif, Sahri lsempat menemui persoalan ketika lalat buah menyerang dan menyebabkan mangganya busuk. Pengalaman ini membuat ayah tiga anak tersebut harus kembali mempelajari cara menghadapi serangan lalat buah serta penyakit lainnya. Usai menyerap banyak ilmu perkebunan, Sahril merasa sebagai petani sesungguhnya.Pada 2005 dia mulai menjajaki penggunaan teknologi.
Hasilnya,dia mampu memanen mangga di luar musim atau dengan kata lain, panen dua kali lebih cepat dari biasanya. Pada 2006, dia mengembangkan pasar ke Jakarta melalui kemitraan. Selain mangga gedong gincu, Sahril juga mengembangkan kebunnya dengan menanam mangga jenis lain seperti arum manis dan cengkir, serta durian dan jambu biji. Untuk jambu biji, Sahril bahkan mengaku tengah fokus mengembang kan agar dapat melahirkan buah jambu biji tanpa biji
Sahril juga menyewa areal perkebunan mangga di Jatitujuh, Kabupaten Majalengka dan di Sliyeg,Kabupaten Indramayu. Kedua perkebunan ini dikelola mitra kerjanya. Lebih dari itu, selain fokus pada pemasaran, Sahril juga mengusahakan kaderisasi bagi siapa saja yang ingin maju.Kaderisasi dianggapnya dapat membuat pasar mangga gedong gincu lebih besar. Untuk mendukung upaya kaderisasi itu, pada 2008 anak pertama dari lima bersaudara ini bekerja sama dengan BNI Syariah Cabang Cirebon.
“Perbankan yang bisa meng-cover besar usaha saya hanya BNI Syariah. BNI Syariah responsif dengan permintaan saya. Pinjaman awal Rp100 juta saya gunakan membantu mitra-mitra kerja dengan harapan terbentuk kaderisasi mangga gedong gincu,” ungkap pria yang memiliki falsafah hidup menjalani segala sesuatunya dengan semangat dan optimisme ini.
Dari modal awal sekira Rp10 juta, saat ini usaha Sahril mampu menghasilkan omzet miliaran rupiah. Dari hanya mampu mempekerjakan tenaga penggarap lahan harian, dia kini memiliki 10 karyawan dan mitra kerja. Dari hanya bekerja sendiri, dia kini mampu melakukan kaderisasi. Meski begitu, Sahril tetap tak menganggap pencapaiannya kini sebuah kesuksesan karena dia masih akan terus mengembangkan diri.
0 komentar:
Posting Komentar