Pertanian Organik Jogja: Alternatif Raih Ketahanan Pangan dan Ramah Lingkungan
Pertanian Organik di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) saat ini terus
berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pola
hidup sehat dan ramah lingkungan. Hal ini didukung permintaan pasar yang
semakin bertambah, serta nilai jual produk yang lebih tinggi .
Sayangnya, saat ini luas lahan yang digunakan untuk pertanian organik di
DIY masih dibawah 3% dari 57.540 hektar luas tanah pertanian yang ada.
Salah
satu perusahaan yang mengelola restoran cepat saji terkenal di
Indonesia yang setahun terakhir menggunakan beras organik, dari 370
gerai, 117 gerai di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan
Jakarta memanfaatkan beras organik. Perusahaan ini menggunakan beras
organik karena konsumen sekarang lebih melek kesehatan, kata salah
seorang brand manager perusahaan tersebut. Pada sebuah gerai yang menyajikan nasi organik dan nonorganik, 80% konsumen memilih nasi organik.
Pertanian
organik adalah pertanian ramah lingkungan yang memanfaatkan bahan alami
lokal di sekitar lokasi pertanian, seperti limbah produk pertanian
sebagai bahan baku pembuatan pupuk untuk mereduksi penggunaan pupuk,
pestisida, fungisida dan insektisida kimia yang tidak ramah lingkungan.
Saat
ini Dinas Pertanian DIY telah memiliki beberapa area pertanian organik.
Untuk wilayah Kabupaten Kulon Progo di Desa Kali Bawang, Kabupaten
Bantul di Desa Mangunan, Kabupaten Gunung Kidul di Desa Pondang dan
Kabupaten Sleman di Desa Prambanan dan Pakem.
Menurut Kepada Dinas
Pertanian Provinsi DIY, Ir. Nanang Suwandi, MMA, tren permintaan
terhadap produk pertanian organik terus mengalami peningkatan setiap
tahun, namun petani di DIY belum mampu memenuhi permintaan tersebut.
Saat ini dinas pertanian DIY sedang mengupayakan target 5% lahan
pertanian organik dari luas lahan pertanian yang ada pada tahun 2012.
Kendala
utama mengembangkan pertanian organik karena lahan yang digunakan harus
terkonsentrasi pada satu area yang jelas batasnya dan terpisah dengan
pertanian konvensional. Hal ini untuk menekan terjadinya kontaminasi
bahan-bahan kimia, baik dari air irigasi maupun udara. Kendala lainnya
adalah hasil yang sedikit, akibat sudah rusaknya kondisi tanah di
Indonesia akibat penggunaan pestisida dan pupuk kimia selama
bertahun-tahun. Selain itu masalah pemasaran produk organik yang masih
terbatas, membuat harga jualnya masih sangat tinggi di pasaran.
Sisi
lainnya adalah belum dibentuknya Lembaga Sertifikasi yang memberikan
jaminan terhadap segala produk pertanian organik untuk meningkatkan
kepercayaan publik. “Oleh karena itu, untuk mengembangkan pertanian
organik perlu ketelatenan, termasuk menjalin kerja sama dengan berbagai
pihak. Lembaga sertifikasi akan kami bentuk, untuk mensertifikasi produk
hasil pertanian organik,” ungkap Nanang pada Mongabay Indonesia.
Pentingnya
pertanian organik pernah dibahas oleh ahli pertanian Amerika Serikat
Laurie Drinkwater ahli manajemen tanah dan ekologi Rodale Institute di
Kutztown, Pennsylvania. Dia yakin pertanian organik adalah cara baru
mengurangi emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Hasil
yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Nature bulan Desember
1998 mengatakan, jika pupuk organik digunakan dalam kawasan pertanian
kedelai utama di AS, setiap tahun, karbon dioksida di atmosfer dapat
berkurang 1% hingga 2 %.
Selain itu, Drinkwater dalam
penelitiannya juga menemukan, pertanian organik menggunakan energi 50%
lebih kecil dibandingkan dengan metode pertanian konvensional. Artinya,
pelaku sistem pertanian organik tidak merusak keberlanjutan komponen
lingkungan yang terdiri atas tanah, air, udara, tanaman, binatang,
mikroorganisme, dan tentunya manusia.
“Ke depan dinas
pertaninan DIY akan terus mendukung dan meningkatkan kebijakan untuk
mengembangkan pertanian organik ini, melihat pangsa pasarnya, selain
untuk hidup yang sehat juga kesuburan lingkungan,” sambung Nanang.
Langganan:
Postingan (Atom)